Cinderella's Sister - Episode 12
Untuk menenangkan Eun Jo, Ki Hoon membawanya ke ruang penyimpanan anggur.
"Aku akan melarikan diri jika bumi berbentuk kotak." kata Ki Hoon. "Tapi sayangnya bumi berbentuk bundar. Walaupun kita lari, kita akan selalu kembali ke titik yang sama." Ki Hoon menatap Eun Jo. "Mulai saat ini, jangan pernah berkata seperti itu lagi."
Eun Jo diam.
"Melarikan diri?" tanya Ki Hoon. "Benar, ayo kita lari. Kita akan lari dan bersembunyi di tempat dimana tidak seorangpun mengetahui. Apa yang akan kau lakukan jika aku berkata seperti itu? Lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Jika kau ingin bersujud di hadapan Hyo Seon, maka lakukan saja. Jika tidak, berikan ia saat-saat berat seperti yang kau lakukan dulu. Bertengkar dengannya, memarahinya. Lakukan apa yang kau suka. Aku akan mengatasi yang lainnya."
"Aku... tahu jalan pikiranku sendiri." kata Eun Jo. "Tapi kau? Karena itukah kau ingin tinggal disini? Apa ada sesuatu yang ingin kau rampas?"
"Aku punya hutang yang harus dibayar." jawab Ki Hoon. "Jika aku tidak bisa membayarnya, aku akan seperti vampir, yang ingin mati tapi tidak bisa mati."
"Apa itu?" tanya Eun Jo.
"Aku tidak bisa memberitahumu." jawab Ki Hoon.
"Bagaimana jika aku lari seorang diri?"
"Jika kau ingin melakukan itu, maka lakukan saja." kata Ki Hoon. "Aku akan membantumu sebisaku. Kemana kau akan pergi?"
Eun Jo kembali di kamarnya. Ia duduk sambil memandang peta yang dulu pernah digambar oleh Ki Hoon. Letak Ushuaia di Argentina.
Eun Jo memasukkan pakaiannya ke dalam tas dan berjalan pergi. Saat itu hari sudah pagi.
Sampai di halaman, Eun Jo berhenti berjalan. Ia seakan melihat Dae Sung datang untuk menghentikannya, seperti dulu saat Eun Jo hendak pergi.
"Aku tidak mau." kata Eun Jo. "Tolong jangan hentikan aku. Kau seharusnya membiarkan aku pergi. Jika kau membiarkan aku pergi, hal seperti ini tidak akan pernah terjadi. Tolong maafkan aku."
Eun Jo berjalan keluar gerbang. Di sana, Ki Hoon dan mobilnya sudah menunggu. "Aku akan mengantarmu pergi." katanya.
Tanpa memedulikan Ki Hoon, Eun Jo berjalan melewatinya.
Eun Jo berjalan terus, namun sampai di depan perusahaan, ia berhenti. Ia berhenti karena malihat para pekerja sedang sibuk bersiap-siap.
Dengan perlahan, Eun Jo masuk ke dalam perusahaan.
"Ah, kau sudah disini!" seru Heojin, paman Hyo Seon. "Kami tidak tahu berapa banyak yang akan dibuat, jadi aku ingin bertanya padamu. Kami hanya membuat apa yang kami bisa sekarang. Maksudku, aku tidak bisa membangunkanmu hanya untuk bertanya."
Eun Jo melihat ke dalam bangunan.
"Oh, Presiden kecil ada disini." kata Paman Kim.
"Apa kau sudah selesai dengan penelitianmu, Presiden Kecil?" tanya Paman Jang. "Kau bilang penelitianmu bisa membantu meningkatkan kualitas ragi. Kami hanya bisa mempercayai Presiden Kecil."
Eun Jo menangis dan menjatuhkan tasnya.
Di sebuah tempat konstruksi bangunan, Jung Woo bekerja dengan sangat keras.
"Aku harus bekerja keras untuk kakakku." kata Jung Woo. "Kak Eun Jo hampir sama tidak bisa beli makanan."
Ki Hoon menemui seorang pria di restoran. Pria tersebut adalah Dong Soo, teman lama Hyo Seon dan Eun Jo.
"Apa kau ingat aku?" tanya Ki Hoon.
"Tidak." jawab Dong Soo. "Tapi karena kau mengatakan kau dari perusahaan ayah Hyo Seon, seharusnya menyangkut itu."
"Aku punya ide bagus dan aku ingin kau tahu." kata Ki Hoon. "Kuharap kau mau menulis beberapa artikel untuk kami. Berhubung artikel sebelumnya tidak terlalu mengundang perhatian orang."
"Tidak mengundang perhatian orang?"
"Ya. Majalah ekonomi tidak terlalu populer." jawab Ki Hoon.
"Cobalah di internet." kata Dong Soo. "Itu akan mengundang perhatian. Bukan karena Perusahaan Anggur Dae Sung, tapi karena orang ingat mengenai isu yang kau tulis. Orang akan lebih tertarik pada isu dibandingkan dengan perusahaannya sendiri."
"Itu ide yang bagus." ujar Ki Hoon. "Bisakah kau membuat Perusahaan Anggur Dae Sung seperti itu juga? Maksudku, ayahmu juga bekerja disana."
"Aku ingin bertanya satu hal." kata Dong Soo. "Apa kau tahu mengenai perusahaan yang mencoba mengimpor anggur secara ilegal?"
Ki Hoon mengangguk. "Ya. Mereka harus membayar denda dan mendapat masa percobaan."
Setelah kue beras siap, Eun Jo, Hyo Seon, Ki Hoon dan para pekerja melakukan upacara perayaan ragi, berdoa untuk keberhasilan mereka. Eun Jo yang memimpin upacara itu. Dong Soo dan salah seorang kameramen merekam kegiatan mereka.
Setelah upacara selesai, Dong Soo menawarkan diri untuk mewawancari Eun Jo mewakili pihak Perusahaan Anggur Dae Sung.
Kang Sook mengeluarkan pakaian Dae Sung dari dalam lemari. Kata-kata Eun Jo terngiang di telinganya mengenai Dae Sung yang tahu bahwa Kang Sook tidak tulus padanya.
Tidak lama kemudian Hyo Seon masuk sambil membawa kue beras. "Makanlah kue beras ini bersamaku, Ibu."
Kang Sook menoleh melihat Hyo Seon, hampir meledak marah. "Hyo Seon juga seperti ayahnya." ia teringat Eun Jo berkata. "Ia berkata tidak apa-apa walaupun kau tidak menyukainya karena ia menyukaimu." Kang Sook menahan marahnya dan berbalik membelakangi Hyo Seon.
"Ibu, kue beras ini lebih enak dari biasanya." bujuk Hyo Seon. "Kau harus makan mumpung masih hangat. Aku juga belum memakannya."
"Aku sudah mengatakan padamu untuk tidak mendekati aku." kata Kang Sook sinis seraya berjalan keluar kamar.
Hyo Seon masih tidak menyerah. Ia mengikuti Kang Sook ke dapur dan langsung menyuapkan kue beras ke mulut Kang Sook.
Kang Sook melempar kue beras ke tanah. "Apa yang kaulakukan? Kau mempermainkan aku?! Kau pikir aku akan baik padamu jika kau terus mendekati aku?!"
Hyo Seon tersenyum dan mengambil kue beras yang sudah kotor dari tanah, kemudian memakannya. Kang Sook kaget.
"Ibu, kau seharusnya tidak membuang makanan seperti ini." kata Hyo Seon, menahan tangisnya. Ia bangkit. "Kau mau memasak? Aku akan melakukannya. Kau mau membuat sup? Ibu, kau yang buat sup, aku yang akan memasak nasi."
"Kau yang akan lakukan semuanya!" bentak Kang Sook. "Membuat sup, memasak nasi dan sayur-sayuran."
Hyo Seon mengangguk. "Ya, Ibu." jawabnya. "Walaupun mungkin rasanya tidak enak, aku akan melakukan semuanya. Ibu, kau boleh pergi ke kamar dan beristirahat. Kau juga harus memakan kue beras."
Kang Sook pergi.
Hyo Seon memukul dadanya yang terasa sakit lagi karena menahan tangis.
Hyo Seon bingung bagaimana caranya mengukus sayur-sayuran. Ia pergi ke perusahaan untuk bertanya pada bibi dan neneknya.
"Aku sudah mengukus sangat lama." kata Hyo Seon.
"Kau seharusnya mengukus sebentar saja, jangan lama." kata Nenek. Ia menarik napas panjang. "Aigoo.. ini tidak akan berhasil. Biar aku yang melakukannya."
"Jangan, Nenek." larang Hyo Seon. "Aku yang akan melakukannya."
"Sepertinya kita masih punya sayuran yang tersisa." kata bibi. Ia mengeluarkan sayuran itu agar Hyo Seon bisa membawanya.
Nenek tersenyum pahit, merasa iba pada Hyo Seon.
Hyo Seon kembali ke rumah. Saat ia menuju dapur, Kang Sook sedang melihat hasil masakannya yang hancur berantakan.
Hyo Seon terkejut dan menjatuhkan sayuran yang ia bawa dari nenek. "Aku bertanya pada nenek bagaimana cara membuatnya." katanya menjelaskan. "Tapi bibi bilang masih ada sayuran yang tersisa."
"Nenek? Bibi?" tanya Kang Sook. "Aku sudah mengusir mereka."
"Di perusahaan hanya ada sedikit karyawan yang bekerja." kata Hyo Seon. "Jadi Eun Jo... maksudku, Kakak..."
"Aku memintamu mengukus sayuran, dan karena kau tidak mau membuatnya, kau meminta pada mereka dan mengatakan kau yang membuatnya?" tanya Kang Sook galak.
"Bukan begitu, Ibu."
"Dan beraninya kau membawa kembali orang-orang yang sudah kuusir!"
"Aku tidak membawa mereka kembali." bantah Hyo Seon.
"Jadi kau mau menyalahkan Eun Jo?" tanya Kang Sook.
"Tidak, aku tidak menyalahkannya."
"Tutup mulutmu!" bentak Kang Sook. "Setiap kali bicara, kau selalu membuatku jemu."
Kang Sook berlari ke perusahaan untuk mencari bibi dan nenek. Hyo Seon maju untuk melindungi mereka.
"Saat itu para pekerja pria sedang tidak ada." kata Hyo Seon. "Kami benar-benar membutuhkan pekerja."
"Apa dia yang membawa kalian kemari?!" tanya Kang Sook kasar. "Ia mengatakan tidak bisa hidup dengan ibunya yang jahat ini dan meminta kau, orang yang membesarkan dia seperti ibunya sendiri, untuk tetap tinggal bersamanya?!"
"Kau salah paham." kata Nenek ketakutan.
"Nyonya, tolong tanyakan pada putra tertuamu." kata Bibi. "Kami tinggal karena ia yang meminta."
Mendadak Heojin datang. "Bibi, apa yang kau lakukan? Para pekerja kelaparan..."
Kang Sook menoleh ke arah Heojin. "Kau belum pergi juga?!" Ia maju ke arah Heojin, tapi Hyo Seon menahannya.
"Tolong Ibu.. Jika paman pergi dari sini, ia tidak punya tempat tinggal." Hyo Seon memohon.
Dengan kasar, Kang Sook mendorong Hyo Seon hingga jatuh terjerembab ke tanah. "Kau tahu kenapa rumah ini menjadi seperti ini?!"serunya pada Heojin. "Apa kau tahu kenapa Ayah Joon Soo meninggal? Bagaimana mungkin kau bisa berada di rumah ini?!"
"Ibu.." gumam Hyo Seon lemah. Entah kenapa dadanya sakit, seperti sesak napas atau sakit karena menahan tangis.
"Kau!" bentak Kang Sook pada Hyo Seon. "Jika kau punya mulut, cepat bicara! Kau masih tidak tahu kenapa ayahmu meninggal?! Jika ayahmu tidak mambuat masalah..."
"Ibu!" Eun Jo mendadak datang bersama Ki Hoon. Mereka berdua menoleh ke arah Hyo Seon dan terduduk di tanah.
Ki Hoon membantu Hyo Seon berdiri dan membawanya pergi.
Eun Jo menarik ibunya kembali ke rumah. Ia menatap ibunya tajam.
"Kenapa kau menatapku seperti itu?!" tanya Kang Sook. "Siapa kau, berani membawa orang-orang yang sudah kuusir?"
"Ibu, kau ada di pihakku, bukan?" tanya Eun Jo. "Kau tidak berada di pihak Hyo Seon, bukan?"
"Apa?"
"Jika kita menambahkan semua saham Joon Soo, kau dan aku, maka semuanya akan menjadi tiga kali lipat dari saham millik Hyo Seon." ujar Eun Jo. "Hyo Seon.. dia bodoh. Jika kita bisa membodohinya, kita bisa mendapat segalanya. Kau pikir ketika aku mengatakan padamu untuk bersikap baik padanya karena aku tidak bisa mengatasinya? Jika kau membuat keributan dengan para tetua di perusahaan ini, maka keuntungan yang akan kita dapatkan akan semakin kecil."
"Apa maksudmu?" tanya Kang Sook. "Apa hubungannya ini dengan para tetua disini?"
"Perusahaan Anggur Dae Sung bukan milik kita lagi." kata Eun Jo. "Karena kita tidak bisa membayar uang yang kita pinjam, maka saat ini perusahaan dibagi-bagikan pda para tetua. Kau pikir hanya itu? Jika kau terus -terusan melawan Hyo Seon dan para pekerja, semua tetua akan berpihak pada Hyo Seon. Semua lahan yang besar itu kini milik para tetua. Jika kita ingin menjual lahan tapi Hyo Seon menentang, kita tidak akan punya kesempatan untuk menjualnya."
"Benarkah?" tanya Kang Sook, shock.
"Jadi jangan menyusahkan dia, Ibu." kata Eun Jo. "Karena kau bersikap seperti itu pada Hyo Seon, aku berpura-pura bersikap baik, tapi, seperti katamu ibu, aku hanyalah anak bodoh yang tidak bisa bersikap seperti itu. Jadi, ibu harus bersikap baik menggantikan aku."
Eun Jo keluar dari gerbang untuk menyambut kepulangan Jung Woo. Ia tersenyum tipis melihat Jung Woo.
Ki Hoon membawa Hyo Seon pergi.
Di mobil, Hyo Seon terus-terusan memegang dadanya, kesakitan.
"Ayo pergi ke rumah sakit." ajak Ki Hoon. "Kita harus memeriksa apakah kau baik-baik saja."
"Bukan seperti itu." kata Hyo Seon. "Aku hanya merasa hatiku tidak nyaman."
Ki Hoon mengajak Hyo Seon ke tepi sungai.
"Eun Jo mengatakan padaku untuk tidak menangis." ujar Hyo Seon. "Kurasa ia tidak ingin aku menangis. Kami tidak bertengkar lagi. Bahkan kadang-kadang, ia bersikap baik padaku. Tapi tetap saja, aku tidak merasa nyaman. Kenapa aku menjadi seperti ini, Kakak? Aku.. sangat merindukan ayah. Aku hampir mati karena sangat merindukannya."
"Karena Eun Jo menyuruhmu tidak menangis, maka kau tidak menangis?" tanya Ki Hoon. "Menangislah. Kau merasa tidak nyaman karena tidak menangis. Saat ini kau bersamaku."
Hyo Seon tersenyum. "Apa aku diizinkan melakukan itu?" tanyanya.
"Ya." jawab Ki Hoon.
Hyo Seon manangis.
"Kau bisa menangis dengan keras." kata Ki Hoon, seraya memeluk Hyo Seon. Ki Hoon menangis sedih. "Maaf... Maafkan aku... Maafkan aku, Hyo Seon.."
Jung Woo dan Eun Jo duduk bersama di perusahaan.
"Apa kau selalu memakai roti pemberianku?" tanya Jung Woo, mencari-cari bros di baju Eun Jo. Jung Woo tersenyum senang ketika melihat bros itu dikenakan Eun Joo dekat saku bajunya. "Jika kau butuh uang, katakan padaku."
"Memangnya berapa banyak uang yang kau miliki? sampai-sampai menyuruhku bilang padamu jika aku butuh?" tanya Eun Jo.
Jung Woo mengeluarkan sebuah amplop dari saku bajunya. "Kau boleh mengambilnya. Aku dapat dari bermain poker."
Eun Jo melotot.
"Aku hanya bercanda!" kata Jung Woo cepat. "Kau belum makan? Kau kelihatan lebih kurus. Ayo bangun."
Jung Woo menarik tangan Eun Jo dengan paksa.
"Lepaskan aku!" teriak Eun Jo marah. "Aku masih banyak pekerjaan!"
"Kau bis abekerja setelah makan!" seru Jung Woo.
Eun Jo menepiskan tangan Jung Woo dengan kasar. "Berhenti cari gara-gara denganku!" serunya. "Aku sudah mengatakan padamu, jangan bersikap seperti ini!"
"Kau juga. Berhenti mencari gara-gara denganku!" kata Jung Woo, menantang. "Aku sudah bilang. Aku tidak peduli hal lain. Tapi kau belum makan. Aku tidak akan membiarkan itu. Ikut aku."
Jung Woo mengajak Eun Jo ke sebuah restoran dengan mobil. Disana, ada mobil Ki Hoon juga.
Eun Jo mencari-cari, dan melihat Ki Hoon sedang makan bersama Hyo Seon.
"Kakak!" panggil Hyo Seon.
Ki Hoon menoleh dan melihat Jung Woo sedang menggandeng tangan Eun Jo.
Eun Jo, Jung Woo, Hyo Seon dan Ki Hoon berakhir dengan makan bersama satu meja.
"Ada hubungan apa antara kalian berdua?' tanya Hyo Seon pada Jung Woo dan Eun Jo. "Song Eun Jo adalah kekasih Han Jung Woo selamanya. Darimana asal kata-kata itu?"
"Ah itu..."
"Jika kau sudah selesai makan, ayo kita pergi." kata Eun Jo, memotong ucapan Jung Woo.
"Tidak bisa." bantah Jung Woo seraya mengambil sendok dan menyerahkannya ke tangan Eun Jo. "Makananmu masih banyak. Kau dan aku.. Kita tidak boleh menyia-nyiakan makanan."
Eun Jo menurut.
"Makan ini, Hyo Seon." ujar Ki Hoon, menyerahkan sepotong ikan pada Hyo Seon.
Jung Woo menyerahkan lauk pada Eun Jo. Eun Jo memakannya dengan patuh.
Hyo Seon hanya diam, memandang mereka dengan bingung.
Eun Jo dan Hyo Seon kembali ke rumah. Tidak seperti biasanya, Kang Sook menyambut mereka dengan ramah. "Hyo Seon, kau sudah pulang?" tanyanya. "Kalian sudah makan?"
"Kami sudah makan." jawab Eun Jo.
"Kalau begitu cepatlah mandi dan tidur." kata Kang Sook.
Hyo Seon melongo.
Ketika Hyo Seon hendak mengucapkan selamat malam pada Kang Sook, Eun Jo melarangnya. "Kau sudah mengucapkan selamat malam. Sekarang tidurlah." katanya.
"Apa kau senang ibu tidak marah lagi padamu?" tanya Eun Jo ketika ia dan Hyo Seon menyikat gigi bersama di kamar mandi.
"Aku sedikit gugup." jawab Hyo Seon. "Walaupun aku gugup, tapi aku senang."
Keesokkan harinya, Hyo Seon mencicipi anggur buatan Eun Jo.
"Hanya satu ini saja yang rasanya benar." katanya. "Yang lainnya rasanya berbeda."
"Bagaimana mungkin?!" seru Eun Jo. "Kita menggunakan ragi yang sama!"
"Tidak apa-apa." hibur Hyo Seon. "Kita tetap berhasil."
Kakak Ki Jung, Ki Tae sangat menyukai Hyo Seon. Berulang-ulang ia menonton rekaman iklan anggur dari Perusahaan Anggur Dae Sung.
Di lain sisi, masalah menimpa perusahaan Ki Jung. Perusahaan Jepang yang mulanya menekan kontrak dengan mereka membatalkan kontrak karena menemukan anggur yag lebih baik.
"Yang lalu, Perusahaan Anggur Dae Sung... Setengah dari anggur mereka berhasil terjual habis di Jepang." lapor seorang peia pada Ki Jung. "Orang-orang merespon..."
"Bagaimana?" tanya Ki Jung tidak sabar.
"Anggur itu menjadi sangat populer." jawan pria itu. "Saat ini, Perusahaan Anggur Dae Sung menjadi trend disana. Iklan, artikel dari perusahaan tersebut menjadi sangat populer. Terlalu populer hingga ini terasa aneh."
"Bukankah kau mengatakan bahwa ragi mereka belum terlalu berhasil?" tanya Ki Jung. "Bagaimana mereka bisa mendapatkan pesanan?"
"Kudengar Ki Hoon melakukan kesepakatan dengan perusahaan itu." kata anak buah Ki Jung. "Ia meminta mereka untuk menyelesaikan pembuatan ragi dan meminjam mesin yang baru."
"Sampai itu terjadi, apa yang kau lakukan?!" bentak Ki Jung marah.
Ki Hoon mengajak Eun Jo untuk meminjam mesin, dengan begitu mereka tidak akan mungkin gagal lagi.
Tapi Eun Jo ragu dan putus asa. "Bagaimana kalau kita gagal lagi?" katanya lemas. "Lalu kita meminjam uang lagi dan memiliki banyak hutang?"
"Itu tidak mungkin terjadi!" kata Ki Hoon, menyemangati. "Banyak orang profesional dalam bisnis ini, tapi kenapa mereka memberi kita kesempatan walaupun tanpa kepastian? Percayalah pada dirimu sendiri."
"Karena aku percaya pada diriku sendiri, maka kita berakhir seperti ini." kata Eun Jo putus asa.
"Paling tidak kau punya kesempatan untuk mengubah semua ini. Untuk membayar hutang pada Paman Dae Sung dan membuatnya senang."
Eun Jo diam.
"Tapi aku tidak punya kesempatan itu." tambah Ki Hoon. "Aku iri padamu karena kau memiliki kesempatan."
Ki Hoon menyentuh bahu Eun Jo untuk menenangkannya.
Eun Jo diam sejenak dengan mata berkaca-kaca. "Jangan lakukan ini." katanya.
Ki Hoon menurunkan tangannya.
Eun Jo keluar. Ki Hoon mengejarnya. "Kau harus memutuskan dengan cepat."
"Harga sewa mesin sangat mahal." kata Eun Jo. Ia juga ragu apakah bisa memenuhi pesanan ditambah lagi, Eun Jo tidak percaya pada perusahaan tersebut.
Sebelum memutuskan untuk menerima atau menolak tawaran itu, Eun Jo ingin memastikan bahwa perusahaan yang melakukan kesepakatan dengan mereka adalah perusahaan sungguh-sungguh dan bukan perusahaan palsu seperti sebelumnya. Ia ingin tahu alasan apa yang membuat perusahaan tersebut setuju menekan kontrak dengan mereka.
"Aku akan melakukannya!" kata Ki Hoon, bersikeras. "Jika semua ini berhasil, Perusahaan Dae Sung akan menjadi sebelumnya dalam waktu 6 bulan atau 1 sampai 2 bulan jika kita beruntung."
Ki Hoon kemudian menyuruh Eun Jo membuat sampel ragi sebanyak-banyaknya agar bisa bersiap-siap ekspor ke Jepang.
Di tempat lain, Hyo Seon menjalani sesi pemotretan bersama Dong Soo.
"Kenapa aku dipotret?" tanya Hyo Seon.
"Kau lihat, dihalaman paling belakang majalah selalu ada foto pembaca yang sedang memegang majalah." jawab Dong Soo. "Kau akan menjadi yang selanjutnya."
Ki Hoon mengantar Eun Jo ke laboratorium.
"Kau boleh pergi sekarang." kata Eun Jo, mengusir Ki Hoon.
"Jika kau tahu siapa orang yang melakukan penipuan pada kita dulu, apa yang akan kau lakukan pada mereka?" tanya Ki Hoon.
"Aku tidak tahu." jawab Eun Jo. "Selama sisa hidupku, aku memiliki alasan untuk hidup karena itu. Membenci mereka akan memberiku kekuatan untuk hidup. Aku tidak akan pernah lelah untuk membenci mereka selamanya sampai aku mati. Hanya itulah yang ingin kulakukan."
Hyo Seon mengikuti Dong Soo ke sebuah restoran kecil. Dong Soo menjalankan restoran itu bersama dengan temannya.
Ketika Ki Hoon keluar, ia melihat mobil ayahnya sedang melaju. Sekuat tenaga, ia mengejar mobil itu.
"Apa masalahnya jika aku bertemu dengan gadis itu?" tanya Presiden Hong pada Ki Hoon.
"Kenapa kau ingin bertemu dengannya?" tanya Ki Hoon.
"Kau tidak perlu tahu."
"Apa rencanamu?" tanya Ki Hoon lagi. "Mulai saat ini, jangan ikut campur. Tinggalkan semuanya!"
"Apa kau punya hak bicara seperti itu?" tanya Presiden Hong. "Apa kau pergi ke Perusahaan Anggur Dae Sung hanya untuk meninggalkan semuanya?"
"Apa yang kau rencanakan setelah bertemu Eun Jo?"
"Aku ingin mengatakan padanya apa yang kaulakukan." jawab Presiden Hong. "Kau akan kehilangan segalanya. Ibu Ki Jung sudah siap bercerai dan aku seharusnya memberi sahamku padanya setelah kami bercerai. Jika saham itu jatuh ke tangan Ibu Ki Jung, itu artinya akan jatuh ke tangan Ki Jung. Dengan begitu Perusahaan Hong akan menjadi milik Ki Jung. Kita akan kehilangan segalanya, karena itulah aku datang untuk mengakui kesalahan."
"Ayah, tolong jangan lakukan itu." pinta Ki Hoon. "Tolong jangan lakukan apapun!"
"Jika kau tidak ingin aku bertemu Eun Jo, maka lakukan sesuatu untukku."
Malam itu, Hyo Seon pulang ke rumah. Di luar gerbang, ia melihat seorang pria mencurigakan sedang berdiri dan mengintip-ngintip ke dalam rumah.
Ki Hoon diam dan berpikir. Ayahnya ingin ia menyerahkan Perusahaan Dae Sung. "Aku akan mengembangkan perusahaan itu menjadi perusahaan yang lebih baik." Ia teringat Presiden Hong berkata. "Hanya itulah satu-satunya cara agar aku tidak kehilangan Perusahaan Hong."
Ki Hoon diam dan berpikir. Ayahnya ingin ia menyerahkan Perusahaan Dae Sung. "Aku akan mengembangkan perusahaan itu menjadi perusahaan yang lebih baik." Ia teringat Presiden Hong berkata. "Hanya itulah satu-satunya cara agar aku tidak kehilangan Perusahaan Hong."
"Aku menolak." kata Ki Hoon.
"Kalau begitu, aku akan menemui Eun Jo." ancam Presiden Hong.
Mendadak Eun Jo datang, membuyarkan lamunan Ki Hoon. "Kapan kita bisa menggunakan mesin itu?" tanyanya. "Kau bilang kita akan meminjam, maka kita pinjam. Jika memungkinkan, lakukan secepat mungkin. Sampel sudah siap."
"Baik." ujar Ki Hoon lemah.
Eun Jo pulang ke rumah. Disana, Nenek dan Bibi sudah kembali lagi.
"Mendadak, Nyonya meminta kami kembali." kata Nenek.
Eun Jo masuk dan melihat Hyo Seon, Joon Soo dan Kang Sook sedang menonton tv bertiga.
"Ibu." panggil Hyo Seon. "Jang... Jang... siapa namanya.. Ah! Apa kau mengenal seorang pria bernama Jang Taek Geun?"
Kang Sook terkejut." Apa?!" serunya. "Aku.. tidak tahu. Kenapa?"
"Ketika aku pulang, aku melihat seorang pria." kata Hyo Seon. Ia tertawa karena menonton tv, tapi Kang Sook mematikan tv.
"Pria seperti apa?" tanya Kang Sook, cemas.
"Seorang pria bertanya apakah rumah ini adalah tempat tinggal Song Kang Sook, salah satu saudara Jang Tae Geun." kata Hyo Seon. "Aku mengatakan padanya bahwa ibu tidak memiliki saudara."
"Bagus." kata Kang Sook. "Aku tidak punya sanak saudara."
Kang Sook menyuruh Hyo Seon tidur.
"Selamat malam." ujar Hyo Seon, memeluk Kang Sook. "Aku tahu ibu tidak menyukaiku. Tapi terima kasih karena sudah bersikap baik padaku. Aku akan melakukan yang terbaik untukmu, Ibu."
Kang Sook terlihat muak.
Ki Hoon minum-minum di ruang penyimpanan anggur. Ia sangat sedih mengingat ucapan Eun Jo bahwa ia akan membenci orang yang dulu menipu dan menghancurkan Perusahaan Dae Sung.
Ki Hoon menelepon ayahnya. "Aku akan mengatakan padanya terlebih dahulu sebelum kau." katanya. "Aku akan mengatakan padanya dan kau akan kehilangan segalanya. Ayah, aku akan menemui Eun Jo sekarang."
Ki Hoon berjalan perlahan menuju rumah dan menggedor-gedor pintu. "Buka pintu!" teriaknya. "Eun Jo, buka pintu! Eun Jo!!!"
0 Komentar:
Posting Komentar