Sinopsis Putri Huan Zhu Part 1
Siang itu, kemeriahan terlihat di sebuah rumah besar nan megah. Pemilik rumah, Liang Dinggui, tengah menyelenggarakan pesta pernikahan putranya. Yang menjadi mempelai wanita adalah putri keluarga Zheng. Nona Zheng telah tiba beberapa saat sebelumnya. Dia kini sudah berada di kamar pengantin.
Sesuai tradisi, di kamar pengantin, mempelai wanita duduk manis menunggu pengantin pria selesai menyalami tamu-tamu di luar. Ketika wanita pengiring pengantin dan para dayang telah keluar kamar, tangannya mulai bergerak-gerak gelisah.
Ditiupnya kerudung merah yang menutup wajahnya hingga jatuh ke pangkuan. Seraut wajah rupawan tersingkap. Alisnya tebal dan berjejer rapi terangkat sebelah. Sepasang mata besar dan lincah melirik ke kiri dan kanan. Atmosfer kamar itu benar-benar dipenuhi nuansa pernikahan. Banyak sekali ornamen merah beserta huruf Xuangxi-Kebahagiaan Ganda, tertempel sana-sini.
Di meja bundar depan ranjang, tertata aneka kue dan manisan yang menggoda untuk dicicipi. Tapi mempelai wanita lebih tertarik pada benda-benda yang ada di kamar itu: perabot-perabot mengkilap, vas-vas mahal serta peti-peti berisi pakaian dan perhiasan hadiah pernikahan. Sekilas, dia tersenyum. Keputusan yang dia ambil kemarin malam sungguh tidak salah. Walau agak tergesa-gesa. Dibukanya mahkota phoenix yang menjepit kepalanya. Tak boleh membuang waktu lagi, pikirnya. Saatnya beraksi!
Di meja bundar depan ranjang, tertata aneka kue dan manisan yang menggoda untuk dicicipi. Tapi mempelai wanita lebih tertarik pada benda-benda yang ada di kamar itu: perabot-perabot mengkilap, vas-vas mahal serta peti-peti berisi pakaian dan perhiasan hadiah pernikahan. Sekilas, dia tersenyum. Keputusan yang dia ambil kemarin malam sungguh tidak salah. Walau agak tergesa-gesa. Dibukanya mahkota phoenix yang menjepit kepalanya. Tak boleh membuang waktu lagi, pikirnya. Saatnya beraksi!
Sementara itu, di luar, dua wanita berpenampilan pria menyeruak di antara para tamu. Mereka adalah Xia Ziwei dan pelayannya, Jinshuo. Ziwei berasal dari Jinan, ibukota propinsi Shandong. Jinan berjarak puluhan kilometer jauhnya di sebelah tenggara Beijing.
Sebulan lalu Ziwei meninggalkan Jinan bersama Jinshuo. Keduanya pergi ke Beijing demi melaksanakan wasiat terakhir Xia Yuhe, ibu Ziwei, yang wafat enam bulan sebelumnya. Di pundak Ziwei terdapat sebuah buntalan kain. Isi buntalan itu merupakan harta amat berharga bagi Ziwei. Dia tidak pernah melepasnya jika berpergian. Pelayannya, Jinshuo, dengan setia mengiringinya.
Susah payah Ziwei dan Jinshuo berdesakan di antara para tamu untuk menemui Liang Dinggui. Pria itu tampak sibuk menerima ucapan selamat bertubi-tubi. Ketika tiba di hadapan Liang Dinggui, Ziwei tak menyia-nyiakan kesempatan lagi.
”Pejabat Liang,” panggil Ziwei sambil menarik-narik lengan jubah pria itu agar diperhatikan. Sesaat, Liang Dinggui hanya kebingungan menatapnya.
”Margaku Xia. Namaku Ziwei,” Ziwei memperkenalkan diri. ”Aku sedang membutuhkan bantuan anda. Bisakah kita menyingkir sejenak untuk membicarakannya, Tuan? Kemarin-kemarin saya sudah coba menemui anda di Kantor Departemen Pertahanan Kerajaan. Tapi anda tidak pernah ada di sana.”
Liang Dinggui tidak terlalu berminat pada Ziwei. Dia segera berpaling ketika dilihatnya seorang tamu penting mendekat ke arahnya.
”Pejabat Liang!” seru Ziwei. Dia dan Jinshuo terdesak oleh kerumunan tamu yang hendak menyalami Liang Dinggui. ”Ternyata setelah sampai di rumah anda pun, saya kesulitan bicara dengan anda. Apakah anda sungguh tidak peduli dengan persoalan rakyat jelata?”
Mendengar perkataan itu, Liang Dinggui mau tak mau kembali melihat Ziwei. Dia khawatir dipermalukan di hadapan tamu-tamu begitu banyak. Ditatapnya kedua ’pria’ yang berdiri di hadapannya itu. Liang Dinggui sedikit terkejut.
”Kalian anak perempuan dari keluarga mana? Kenapa berdandan seperti ini? Seluruh kaum wanita kini berkumpul di Paviliun Bunga. Kalian juga pergilah ke sana. Jangan mengganguku terus.”
”Kemarin kami menghadang tandu anda. Apa Tuan tak ingat lagi?” tanya Ziwei cepat.
Sejenak, peristiwa kemarin siang berkelabat di benak Liang Dinggui. Ketika tandu beserta arak-arakannya lewat di jembatan Yinting, dua orang wanita menghadang rombongannya. Kedua wanita itu berseru-seru agar bisa menemuinya. Merekalah Ziwei dan Jinshuo. Tapi Liang Dinggui tidak peduli. Diusirnya kedua gadis itu sambil marah-marah karena menghalangi jalan. Beberapa pengawalnya bahkan mendorong kedua gadis hingga terjatuh.
”Apa? Rupanya kalian?” Liang Dinggui membelalakkan mata.
Tapi pada saat bersamaan, sebuah kehebohan terjadi. Sekelabat bayangan merah melesat keluar dari aula utama - menerobos kerumunan tamu - secepat panah yang terlepas dari busur. Rupanya si mempelai wanita! Semua orang menjerit kaget.
Kerudung pengantin tak lagi menutup wajahnya yang rupawan. Mahkota pengantin burung phoenix juga telah terlepas. Di bahunya kini tersandang buntalan besar dari kain hiasan dinding kamar pengantin. Di belakangnya: wanita pengiring pengantin, dayang-dayang dan para pelayan pria mengejarnya sambil teriak-teriak,
”PENCURI! Tangkap dia! Dia bukan Nona Zheng! Dia PENCURI!!!”
Si mempelai wanita, eh, sekarang jadi si pencuri, menabrak Liang Dinggui hingga terpelanting. Tamu-tamu histeris. Ziwei dan Jinshuo terbengong. Sejurus kemudian, pencuri yang berlari kencang itu berhadapan dengan Ziwei dan Jinshuo. Mereka saling pandang. Sepertinya ada pemahaman di antara ketiganya. Ziwei dan Jinshuo menyingkir memberi jalan. Dan kesempatan ini tidak disia-siakan oleh si pencuri. Dia langsung mengambil ancang-ancang hendak melompati tembok.
Tapi si pencuri tidak berhasil melompati tembok dalam sekali usaha. Sementara di belakangnya, Laing Dinggui memaki-maki, para wanita sibuk menyerocos serta berteriak, dan... serombongan besar pelayan pria mulai berdatangan hendak menangkapnya.
Buntalan si pencuri yang berat menghambat pelariannya. Maka, diturunkannya buntalan itu, dibuka, dan isinya dihamburkan ke udara. (”Ladies and Gentlemen. Introducing: The Robin Hood’s Lady From Beijing!” :P)
Aneka perhiasan berharga dari emas, mutiara serta batu permata berhamburan. Pencuri itu mengumumkan keras-keras: ”Siapa yang mau silakan ambil semua! Ayo! Ayo! Semua ini dirampas dari rakyat dan terdapat di rumah Pejabat Liang yang korup! Kalian akan rugi kalau tidak ambil!”
Melihat begitu banyak emas dan permata berserakan, para tamu - bahkan pelayan-pelayan yang semula hendak menangkap pencuri itu jadi berebut untuk memungutnya. Kesempatan inipun dipakai si pencuri untuk melompati tembok dengan mulus.
Ziwei dan Jinshuo masih terpana dengan kehebohan ini. ”Bisa dibilang,” bisik Jinshuo. ”Pencuri ini telah membalaskan sakit hati kita atas perlakuan Pejabat Liang kemarin, Nona.”
Situasi rumah Liang Dinggui kacau-balau seperti ’bunga berguguran dan air mengalir’. Ziwei merasa tak ada gunanya berlama-lama di sana. Dia menarik Jinshuo untuk pergi. Keduanya lalu menyusuri jalan raya sambil bercakap-cakap soal kejadian tadi. Meski misi Ziwei belum tercapai, entah mengapa, kehebohan tadi membuatnya senang.
Sekelompok prajurit berwajah garang mulai menyisir jalan-jalan untuk mencari si pencuri yang menyamar jadi mempelai wanita. Mereka menghentikan orang secara acak, menanyai satu-satu. Para prajurit itu juga tampak tergesa-gesa, menyuruh orang-orang menepi dengan seruan-seruan keras.
Ziwei dan Jinshuo buru-buru menepi sewaktu rombongan prajurit itu melintas. Hingga tanpa sengaja, Ziwei menubruk keranjang sampah yang terbuat dari rotan di tepi jalan. Ziwei merasa pakaiannya ditarik-tarik kebawah. Dia menoleh dan terkejut. Rupanya si pencuri tengah bersembunyi di dalam keranjang itu.
Si pencuri memohon-mohon agar Ziwei tidak berteriak. Entah mengapa, Ziwei merasa pencuri ini pastilah gadis baik-baik. Melihat beberapa prajurit bermaksud mendekat untuk menanyainya, Ziwei langsung berinisiatif menduduki keranjang itu sambil membuka kipas lipatnya, seolah-olah kepanasan.
Para prajurit itu melihat Ziwei dan Jinshuo. Keduanya tampak tenang dan tak mencurigakan sama sekali. Mereka pun buru-buru berlalu.
“Mereka sudah pergi. Kau boleh keluar,” kata Ziwei. Si pencuri keluar dari keranjang sambil mengusap-usap kepalanya dengan gaya berlebihan dan memelototi Ziwei.
“Duuh! Siallah diriku sepanjang tahun ini! Kepalaku diduduki olehmu seperti tadi...”
”Hei!” Jinshuo menegur. ”Kau tidak tahu berterima kasih, ya? Kalau bukan kami, kau sudah pasti tertangkap!”
Pencuri itu menarik lengan gaun pengantin merah yang dikenakannya, membungkuk hingga kepalanya hampir menyentuh tanah. ”Benar, Xiao Yanzi dalam sehari ini telah dua kali ditolong Nona berdua. Xiao Yanzi mengucapkan terima kasih pada Nona berdua!”
Jadi namanya Xiao Yanzi..., pikir Ziwei. ”Bagaimana kau tahu kalau kami ini perempuan?”
”Dari tadi aku sudah langsung tahu kalian perempuan yang menyamar jadi laki-laki. Kuberitahu ya, kalian terlalu kemayu. Bagaimana bisa mirip dengan lelaki?” Xiao Yanzi mencopot pakaian pengantinnya lalu bermaksud pergi.
”Tunggu!” cegah Ziwei. Dia penasaran. ”Aku mau tanya. Dimana kau menyembunyikan pengantin wanita yang asli?”
”Aku tidak bisa memberitahumu,” kata Xiao Yanzi. ”Yang jelas kini dia berada di tempat yang aman.”
”Apa kau tidak takut dituduh melanggar hukum karena mengacaukan pesta pernikahan seorang pejabat?”
”Melanggar hukum? Tentu saja tidak! Aku Xiao Yanzi adalah pahlawan wanita yang akan mencabut pedang setiap kali melihat ketidak adilan! Ayah-beranak Liang itulah yang melanggar hukum! Bukan hanya terkenal suka korupsi. Tapi juga suka merampas anak gadis orang buat dijadikan istri!”
”Kejadian hari ini sungguh suatu kebetulan. Kalau saja semalam aku tidak ke rumah keluarga Zheng untuk ’beraksi’, aku tentu tidak melihat Nona Zheng yang sudah siap menggantung diri karena putus asa. Aku langsung menyelamatkannya. Dan dia pun menceritakan seluruh kisahnya padaku. Aku Xiao Yanzi, melihat ada wanita kesulitan seperti itu, mana mungkin tidak membantu?”
Ziwei masih penasaran. ”Jadi, bagaimana nasibnya nanti? Pejabat Liang bisa saja menemukannya kembali dan terbongkarlah persekongkolan kalian. Kalau itu benar terjadi, apakah Pejabat Liang akan melepaskan keluarga Zheng?”
”Oh, semua sudah diatur!” sahut Xiao Yanzi. ”Sekarang, keluarga Zheng akan mendatangi keluarga Liang dan menuntut anak perempuan mereka kembali. Karena Pejabat Liang tidak bisa memperlihatkan Nona Zheng, keluarga Zheng akan membuat onar karena menganggap putri mereka telah dicampakkan begitu saja.”
”Kau sungguh bernyali besar!” Ziwei terkagum-kagum. ”Tidakkah kau takut tertangkap?”
”Mana mungkin aku bisa tertangkap? Kalian tidak kenal julukanku: Xiao Yanzi – si Manusia Tanpa Bayangan. Aku datang dan pergi tanpa meninggalkan jejak (wah, jangan-jangan jelangkung! :P). Dan aku tak takut meski pada Langit dan Bumi sekalipun!”
”Semua prajurit tadi sudah pergi. Tentu saja kau sudah berani sesumbar...” Jinshuo tertawa.
Xiao Yanzi dan Ziwei tertawa. Tanpa sadar, dalam hati keduanya mulai saling mengagumi. Ziwei memuji Xiao Yanzi yang beralis tebal dan bermata bulat, sifatnya sangat gagah tapi senyumannya tak kalah manisnya. Seorang pencuri yang cantik. Sebaliknya Xiao Yanzi mengamati Ziwei yang lugu, meski terbalut pakaian lelaki tapi tetap tak bisa menyembunyikan kelemah lembutannya. Xiao Yanzi mengira, Ziwei pastilah berasal dari keluarga kaya dan beginilah cara bersikap para gadis keluarga terpandang.
”Untunglah aku masih punya gaun pengantin ini. Paling tidak masih bisa dijual. Nah, aku benar-benar harus pergi. Sampai jumpa!”
Xiao Yanzi melenggang tanpa menoleh lagi.
Itulah pertemuan pertama Ziwei dan Xiao Yanzi. Siapa sangka, dua orang yang tidak saling mengenal sebelumnya, kelak terikat oleh nasib yang akan menentukan jalan hidup keduanya.
***
Pertemuan kedua Ziwei dan Xiao Yanzi berlangsung sekitar setengah bulan kemudian.
Hari itu perasaan Ziwei tak menentu. Misi yang diembannya sama sekali belum terlihat titik terangnya. Sementara, bekal uangnya mulai menipis. Melihat Ziwei termangu, Jinshuo mengajaknya jalan-jalan.
Keduanya lalu melihat atraksi silat yang dimainkan oleh sepasang muda-mudi. Di lantai dekat mereka terpampang sehelai kertas pengumuman: ’Mengamen untuk Mengubur Ayah.’
Setelah kedua orang itu selesai berlaga, yang laki-laki memberi hormat pada kerumunan sambil berkata dalam dialek Shandong.
”Aku bermarga Liu, bernama Qing. Ini adik perempuanku, Liu Hong. Kami asal Shandong, mengikuti ayah ke Beijing untuk berdagang. Malangnya, modal kami habis, ayah kami jatuh sakit dan meninggal. Kami tak punya uang untuk menguburkannya. Maka dari itu kami memberanikan diri untuk mengadakan pertunjukan ini. Dengan harapan Tuan-Tuan, Nyonya-Nyonya dan Nona-Nona sudi menyumbangkan uang untuk membeli peti mati dan ongkos kami pulang kampung.”
Pemudi yang bernama Liu Hong itu berkeliling sambil membawa kaleng. Tapi sedikit sekali yang mau memberi uang mereka. Beberapa di antaranya malah langsung pergi. Ziwei tersentuh dan hendak menyumbang. Jinshuo mencegahnya.
”Mereka kan orang Shandong juga. Sekampung dengan kita. Sudah sepantasnya kalau kita membantu,” kata Ziwei.
Tiba-tiba, seorang gadis lain menerobos arena, mengambil tambur dan memukulnya. Gadis itu Xiao Yanzi.
“Semua orang, lihatlah kemari! Dengarkan aku!” Xiao Yanzi berseru. ”Ada pepatah kuno yang bilang: ’Kalau di rumah bergantung pada keluarga – di luar rumah bergantung pada teman.’ Anda sekalian yang tinggal di Beijing, kita semua sama dengan kedua kakak-beradik ini. Sama-sama orang China. Apa kalian tidak kasihan pada keduanya dan bersedia menyumbang? Aku, Xiao Yanzi, keluargaku sangat miskin. Tapi...,” dia merogoh kantungnya dan mengeluarkan beberapa keping uang. Dijatuhkannya uang itu ke dalam kaleng. ”Berapapun uang yang kumiliki akan kusumbang semua! Kalau anda masih ingin melihat pertunjukan istimewa seperti tadi, aku Xiao Yanzi akan beraksi.”
Xiao Yanzi berpaling pada Liu Qing, ”Kakak Liu, mari kita saling bertukar jurus agar para hadirin mendapat tontonan menarik dan menyumbangkan lebih banyak uang mereka!”
Liu Qing menyanggupi. Dia dan Xiao Yanzi pun saling bertukar jurus. Tapi karena ilmu silat Xiao Yanzi tidak tinggi, segera saja dia jadi bual-bualan Liu Qing. Belakangan, atraksi silat ini berubah menjadi tontonan komedi. Para penonton tertawa terbahak-bahak melihat Xiao Yanzi yang tidak berdaya setiap kali menangkis serangan Liu Qing.
Liu Hong menggunakan kesempatan ini untuk mengedarkan kaleng. Ziwei tak tahan lagi, dia mengeluarkan sekeping uang perak – yang nilainya cukup besar – dan dimasukkannya ke dalam kaleng Liu Hong.
Liu Hong terpana melihat sumbangan sebesar itu. Gugup, Liu Hong mengucapkan terima kasih. Para penonton lainnya pun mulai menyumbang. Kaleng yang dibawanya pun perlahan-lahan penuh.
Pertunjukan Liu Qing dan Xiao Yanzi mencapai klimaks. Liu Qing mengangkat Xiao Yanzi tinggi-tinggi ke udara, membuat gadis itu berteriak, ”Pendekar ampuni aku! Lain kali aku tak berani menggodamu lagi!”
Seluruh penonton tertawa terpingkal-pingkal. Pada saat bersamaan, dari atas situ, Xiao Yanzi melihat seseorang mencoba mencuri buntalan yang tersampir di bahu Ziwei.
”Hei! Kau yang mencuri itu! Berhenti!” seru Xiao Yanzi.
Teriakan Xiao Yanzi membuat pencuri itu bergegas lari. Ziwei langsung menyadari buntalannya hilang. Jinshuo bergegas menariknya untuk berlari mengejar si pencuri. Xiao Yanzi, Liu Qing dan Liu Hong juga ikut mengejar.
Akhirnya pencuri itu tertangkap oleh trio Xiao Yanzi dan Liu bersaudara. Mereka menghajarnya hingga pencuri itu menyerah dan mengembalikan buntalan Ziwei. Begitu menerima buntalannya kembali, Ziwei dan Jinshuo bergegas membuka dan memeriksanya.
”Syukurlah... Semuanya masih utuh,” ujar Ziwei lega. ”Nona, terima kasih karena sudah menolongku. Kalau barang-barang ini hilang, hidupku pun akan melayang.”
”Memangnya barang apa di dalamnya? Emas? Perak? Permata?” Xiao Yanzi mengangkat sebelah alis. Tapi ketika dilihat isinya hanya berupa sebuah kipas lipat dan segulung lukisan, Xiao Yanzi mendesah. ”Ternyata cuma dua barang usang.”
Liu Hong maju ke hadapan Ziwei dan berkata, ”Terima kasih karena tadi kalian telah menyumbang. Nilainya sungguh besar. Kami juga telah membantu mengembalikan barangmu, jadi bisa dibilang hutang budi telah terbayar, kan?”
”Barangnya telah dikembalikan, jadi tak masalah lagi,” Liu Qing menimpali. ”Xiao Yanzi, kau masih mau ’Mengamen untuk Menguburkan Ayah’ atau hari ini cukup sampai di sini?”
Ziwei baru sadar kalau ketiga orang ini rupanya bekerja sama.
”Rupanya..., kalian bukan ’Mengamen untuk Mengubur Ayah’ sungguhan ya? Tadi itu, semuanya cuma sandiwara?”
Xiao Yanzi tertawa. ”Akting yang lumayan kan?” katanya cuek. ”Walau ilmu silatku tak seberapa, tapi aktingku adalah nomor satu.” (bukan hanya akting, Xiao Yanzi ini juga bisa jadi promotor nomor satu. Heghegheg)
Ziwei akhirnya ikut tertawa. Xiao Yanzi menatap Ziwei dan Jinshuo yang begitu lemah lembut dan mudah ditipu. Dia jadi tak enak hati.
”Kalian tinggal di mana? Biar kuantar pulang,” ia menawari lalu berpaling pada Liu Qing dan Liu Hong. ”Hari ini tak usah bekerja lagi. Nanti kita bertemu di rumah kumuh!”
Jadi, Xiao Yanzi mengantar Ziwei dan Jinshuo ke penginapan. Begitu memasuki kamar, dia terkagum-kagum.
”Wah, menginap di kamar sebagus ini, kalain pasti orang kaya!”
”Orang kaya apa? Kami sudah hampir bangkrut!” Ziwei menghembuskan napas. ”Nona, aku sungguh berterima kasih atas bantuanmu tadi.”
”Tak perlu basa-basi. Panggil aku Xiao Yanzi saja. Kita telah saling membalas budi satu sama lain. Jadi impas kan?”
Ziwei menatap Xiao Yanzi dengan tulus. ”Mengapa kau harus mencari nafkah dengan menipu orang?” tanyanya lembut.
”Menipu? Aku tidak menipu. Aku kan mempertontonkan keahlianku untuk mencari uang. Jadi pantas saja para penonton itu ’membayar’ karena telah menikmati pertunjukanku.”
”Aku belum pernah melihat orang seperti kau. Sudah menipu orang, masih saja menganggap diri benar. Aku merasa kau memanfaatkan simpati orang untuk mengambil uang mereka. Cara begini tidak terlalu terpuji. Kungfu kedua bersaudara Liu juga cukup baik. Mengapa kalian bertiga tidak mencari pekerjaan baik-baik saja?”
”Ha! Kau tiba-tiba menggurui ya? Lantas kalian?” Xiao Yanzi beradu argumen. ”Dua wanita yang menyamar jadi lelaki. Bukankah itu juga menipu? Apakah kau tidak pernah berbohong? Tidak mungkin! Pada dasarnya kita memang hidup di dunia yang saling menipu. Aku tahu kau seorang Nona terpelajar dan kutu buku. Tapi jangan sampai kau dibutakan oleh teori di buku-buku itu. Kalau kau tak menipu, kaulah ditipu. Nah, daripada ditipu, mending menipu kan? Ha ha!”
Ziwei terpana menatap Xiao Yanzi. “Wah, kau lebih tahu banyak hal dibanding aku, ya?”
“Tentu saja! Teori dan pengalaman itu berbeda. Teori tidak bisa mengenyangkan perut!”
Ziwei memandang Xiao Yanzi dalam-dalam. “Kita sepertinya berjodoh. Aku menyukai kelincahan dan kebebasanmu. Kau jangan marah, kurasa caramu mencari nafkah tidak halal. Kau menggunakan: ’pintu samping dan jalur sebelah kiri’. Mengapa tidak bekerja baik-baik saja?”
”Bekerja baik-baik? Dimana kami bisa memperolehnya? Kami sudah pernah mencari. Kalau bukan jadi pembantu, cuma jadi pemain akrobat. Tidak boleh marah kalau diomeli majikan, diberi makan pun tidak sampai kenyang. Apalagi di rumah kumuh kami. Satu rumah ditinggali banyak orang, tua-muda, semua orang-orang terlantar dan tidak punya siapa-siapa. Kalau bukan kami yang merawat mereka, lantas siapa lagi?”
”Oh, jadi rumah kumuh kalian itu, banyak gelandangan yang tinggal di sana?” Ziwei tersentuh.
”Iya. Mereka semua sering kelaparan. Kalau sakit tidak punya uang berobat. Kalian tak akan mengerti. Kalian gadis-gadis kaya, punya ayah dan ibu, pembantu, pakaian dan makanan yang melimpah. Mana tahu rasanya menderita karena lapar dan kedinginan?”
Ziwei mendesah. ”Meski aku tidak pernah kelaparan dan kedinginan, tapi Ibuku sudah meninggal. Aku terpaksa meninggalkan kampung halamanku di Jinan ke Beijing untuk mencari ayahku. Tapi sampai sekarang aku belum berhasil menemukannya. Aku terus saja menemui jalan buntu. Jadi, dalam hidupku pun, aku punya permasalahan.”
Kini Xiao Yanzi yang terkejut. ”Jadi kau bukan Nona kaya yang tengah menyamar keluar rumah bersama pembantunya? Dan setelah puas jalan-jalan akan pulang ke rumah?”
Ziwei tertawa getir. ”Sebelum ke Beijing aku telah menjual rumahku di Jinan. Kini aku tak punya rumah lagi untuk pulang. Kalau aku tak bisa menemuka ayahku, aku tidak tahu lagi harus bagaimana.”
Xiao Yanzi jadi bersimpati. ”Aih, kau dan aku kurang lebih sama. Aku bahkan tak tahu rupa ayah dan ibuku. Sejak kecil aku telah berkelana kesana-kemari... Kota Beijing ini besar lho! Mencari satu orang itu bukan pekerjaan mudah. Ayahmu sebenarnya tinggal di mana? Apa kau punya buku silsilah keluarga?”
Ziwei yang telah merasa nyaman dengan Xiao Yanzi, nyaris kelepasan bicara jika Jinshuo tidak menahannya. ”Tentu saja ada petunjuk. Hanya saja sudah begitu lama, tidak mudah untuk langsung menemukannya kembali.”
”Kalau kau memerlukan bantuanku, kau bisa datang ke rumah kumuh itu...” Xiao Yanzi memberikan alamat gang tempat tinggalnya. ”Kau sudah tahu namaku Xiao Yanzi, kan? Nah, kalau kamu? Siapa namamu?”
”Margaku Xia. Namaku Ziwei,” Ziwei menjabat hangat tangan Xiao Yanzi. ”Ziwei yang berarti bunga pakis ungu itu...” (kalau di wikipedia, Ziwei itu sejenis tumbuhan myrtle. Perdu. Semak. Dan setelah diklik ke bahasa Indonesia, rupanya bunga Ziwei itu nama Indonesianya adalah bunga Bungur yang biasa dijadikan tanaman pagar)
”Nama yang bagus. Orang dan namanya sama cantiknya,” puji Xiao Yanzi.
Keduanya lalu tertawa. Meski asal-usul keduanya berbeda, tapi di antara kedua gadis itu telah tercipta persahabatan yang penuh misteri. Misteri inilah kelak yang akan menjadi sumber dari kisah kehidupan mereka.
***
Ziwei benar-benar mengunjungi rumah kumuh itu suatu hari. Xiao Yanzi merasa girang melihatnya.Ziwei dan Jinshuo datang sambil membawa beberapa keping uang perak bagi orang-orang di sana. Kebaikan Ziwei ini membuat Xiao Yanzi terharu.
”Aku belum pernah bertemu dengan orang sebaik dirimu. Apa kau tidak takut aku menipumu dengan berpura-pura miskin?”
Ziwei memandang para orang tua dan anak-anak di rumah kumuh itu. ”Aku yakin kau tidak menipuku.”
Xiao Yanzi yang sejak kecil tidak punya ayah dan ibu, selalu diliputi kesulitan dan kesialan, baru kali ini bertemu orang mulia yang tidak memandang enteng dirinya. Digenggamnya tangan Ziwei erat-erat.
”Kukira, kau dan Jinshuo pindah saja ke sini. Tinggallah bersamaku!”
”Pindah ke sini?” Ziwei terkejut.
”Memangnya kenapa? Apa kau menganggap rumah kumuh ini tidak pantas denganmu si Nona Kaya?”
Ziwei dan Jinshuo berembuk. Bagaimanapun, persediaan uang mereka sudah mulai menipis. Berdua saja sebagai orang asing di Beijing juga beresiko. Maka, Ziwei memutuskan, ”Tentu saja aku mau pindah dan tinggal di sini!”
Sebulan kemudian, Ziwei dan Xiao Yanzi melangsungkan upacara pengangkatan saudara di rumah kumuh itu.
Xiao Yanzi mengucapkan sumpah persaudaraannya lebih dulu.
”Kaisar Giok, Dewa-dewi, Liu Qing, Liu Hong, Jinshuo dan seluruh penghuni rumah kumuh. Juga tikus, kucing, anjing, burung, cacing, dan serangga. Juga bunga, pohon, awan dan bulan.. kalianlah saksi kami. Mulai hari ini, aku Xiao Yanzi, dan Xia Ziwei akan menjadi kakak-adik. Ada makanan enak akan dibagi bersama. Kalau ada baju bagus juga akan dipakai bersama. Jika aku mengingkari sumpahku, aku akan mati terpotong dan dicincang-cincang!” (whuzzz, sadis men!)
Lalu giliran Ziwei.
”Langit dan Bumi, aku, Xia Ziwei dan Xiao Yanzi...” dipandanginya Xiao Yanzi. ”Margamu apa?” (Nama Xiao Yanzi berarti Burung Walet Kecil. Jadi Xiao di sini bukan marga).
”Aku tidak tahu! Ketika kecil aku dipelihara seorang biksuni. Dia pernah bilang sepertinya aku bermarga Jiang. Tapi tak dapat dipastikan.”
”Berapa umurmu tahun ini? Tanggal berapa kau lahir?” tanya Ziwei lagi.
”Umurku tahun ini delapan belas. Aku tidak tahu tanggal dan bulan lahirku. Aku cuma tahu kalau aku lahir pada tahun renxi - anjing air.”
”Aku juga lahir pada tahun renxi,” Ziwei menimpali. ”Ulang tahunku tanggal dua bulan delapan. Kalau begitu, siapa di antara kita yang jadi kakak dan adik?”
”Tentu saja aku yang jadi kakak!” Xiao Yanzi berkata. ”Kalau kau lahir pada tanggal dua bulan delapan, anggap saja aku lahir pada tanggal satu bulan delapan!”
Ziwei terpana. ”Bisakah dianggap begitu?”
”Tentu saja bisa! Aku telah memutuskannya!” Xiao Yanzi mengangguk antusias.
Maka, Ziwei mengulang sumpahnya. ”Langit dan Bumi, hari ini, aku, Xia Ziwei dan Xiao Yanzi akan menjadi kakak-adik. Kalau ada keberuntungan akan dinikmati bersama, kalau ada kesulitan akan dibagi bersama. Entah bagaimana nasib kami kelak, semoga tak pernah berpisah. Jika aku mengingkari sumpah ini, dewa-dewa silakan memberi ganjaran setimpal.”
Kedua orang itu dengan tulus menghormat tiga kali di bawah meja sembahyang di halaman rumah kumuh itu. Setelahnya, Ziwei berkata pada Xiao Yanzi.
”Mulai sekarang, kita adalah kakak-adik. Margaku, adalah margamu juga. Aku bermarga Xia, maka kaupun bermarga Xia juga.”
Xiao Yanzi amat terharu sampai air matanya menetes. ”Bagus sekali! Sekarang aku punya marga. Xia – yang artinya musim panas! Kau adalah ’bunga pakis ungu di musim panas’, sedang aku adalah ’burung walet kecil di musim panas’. Aku punya hari jadi. Ulang tahunku setiap tanggal satu bulan delapan. Aku juga punya saudari. Saudariku itu kau!”
Orang-orang yang menyaksikan jadi ikut terharu.
Malam usai keduanya mengangkat sumpah saudara, Ziwei mengutarakan seluruh rahasia besarnya pada Xiao Yanzi. Dia membuka gulungan lukisan serta kipas lipat yang selama ini tersimpan di dalam buntalan. Di kipas lipat dan gulungan lukisan itu terdapat lukisan bunga teratai. Pada masing-masing benda, terdapat puisi kaligrafi.
Ziwei membaca puisi di kipas lipat bagi Xiao Yanzi:
”Selepas hujan, bunga teratai mendapat anugerah embun.
Seluruh kota ditebari warna musim semi yang tersiram cahaya mentari.
Betapa indah cahaya Danau Daming.
Puncak Gunung Tai, tampak menjulang tinggi.”
Xiao Yanzi termangu-mangu menatap lukisan itu.
”Kalau lukisan ini aku masih sedikit paham itu gambar teratai kan? Tapi kalau puisi dengan kata yang berliku-liku itu aku tak tahu maksudnya!”
”Tidak apa bila kau tak tahu. Kedua lukisan ini adalah karya ayahku. Puisi –puisinya juga ciptaan ayahku. Lukisan dan puisi yang menyebut soal teratai itu secara samar menyinggung soal ibuku. Ibuku bernama Xia Yuhe.” (Dalam bahasa mandarin, bunga teratai bisa juga disebut he selain kata lain yang lebih dikenal: lian)
Ziwei menunjuk ke puisi di atas lukisan gulung. ”Musim gugur tahun Xinxi – tahun ayam logam, setahun sebelum renxu. Di tepi Danau Daming. Dengan hujan dan kabut tebal. Kupersembahkan lukisan ini kepada Yuhe.” Lalu Ziwei menunjuk pada bagian lain lukisan itu. ”Ini tanda tangan ayahku.” Katanya hati-hati, ”Dilukis oleh Baoli pada bulan ke sepuluh tahun Xinxi. Dan ini stempel namanya: Sastrawan Changchun.”
”Jadi ayahmu bernama Baoli?” Xiao Yanzi mulai menemukan titik terang.
”Kecilkan sedikit suaramu!”
”Kenapa kau penuh rahasia segala? Memangnya sudah berapa lama kau dan ayahmu berpisah? Mengapa kalian bisa sampai terpisah?”
”Aku... belum pernah bertemu ayahku. Aku rasa... Diapun tak tahu kalau aku ada di duia ini.”
”Ah! Bagaimana mungkin?”
”Sebenarnya... ayah dan ibuku tidak pernah menikah...”
”Ha?”
”Kala itu, Kakekku dari pihak ibu adalah seorang xiucai – pegawai negeri sipil dengan pangkat terendah. Kabarnya hari itu, ayahku mampir ke rumahnya karena hendak berlindung dari hujan. Setelah melihat ibuku, dari mampir akhirnya jadi tinggal. Beberapa waktu kemudian, ayahku kembali ke Beijing. Dia janji akan menjemput ibu tapi sepertinya sekembalinya di Beijing dia telah melupakannya. Dia tidak pernah datang lagi.”
”Kurang ajar! Jadi kata lain, ibumu dicampakkan, begitu? Mengapa kakekmu tidak pernah mencari ayahmu ke Beijing?”
”Kakekku punya harga diri. Dia sangat gusar hingga jatuh sakit dan meninggal. Nenekku wanita patuh yang tak punya inisiatif. Ibuku melahirkan anak tanpa menikah, tentu menjadi pergunjingan sanak keluarga. Dia selalu menyembunyikan perasaan malunya dan menutup diri. Dia tidak pernah memberitahu siapa ayahku, sampai sesaat sebelum dia meninggal. Dia memberi tahu segalanya dan minta aku pergi ke Beijing mencari ayah.”
Xiao Yanzi sangat marah mendengar cerita itu. ”Buat apa mencari ayah seperti itu? Kalau dia punya perasaan, pasti dia akan mencari kalian dan tak membiarkan ibumu menanggung malu. Kalaupun pandai melukis dan berpuisi apalah artinya? Ayah seperti ini tak bisa dimaafkan! Anggap saja tidak pernah ada!”
”Tapi ibuku mencintainya seumur hidup,” sanggah Ziwei.
”Ibumu terlalu bodoh. Kalau ayahmu masih ingat, tentu dia kembali. Rupanya, marga Xia-mu itu adalah marga ibu. Apa marga ayahmu, jangan-jangan kau pun tak tahu.”
”Aku tahu! Marganya Aishin Gioro!”
”APA?” Xiao Yanzi terperanjat bukan kepalang. ”Aishin Gioro? Orang Manchu? Anggota keluarga kerajaan? Apakah dia seorang Chinwang atau Beile – gelar pangeran Manchu?”
Ziwei kembali menunjuk tanda tangan pada lukisan. ”Tahukah kau nama Baoli itu kependekan dari apa? Bao itu dari Bao Chinwang – Pangeran Bao. Sedang Li dari kata Hongli. Kau pasti tahu kalau sebelum naik tahta, Kaisar kita bernama Aishin Gioro Hongli. Dan gelarnya Pangeran Bao.”
”Apa?” Xiao Yanzi mencengkram kipas lipat.
Ziwei mengangguk. ”Ya! Jika kisah ibuku benar, maka Baoli ini memang benar ayahku. Dan dia adalah Kaisar Qianlong yang sekarang bertahta!”
Prak! Xiao Yanzi menjatuhkan kipas lipat saking terkejutnya. ”Astaga! Ternyata aku mengangkat sumpah saudara dengan seorang Gege-gelar putri bangsawan Manchu! Pantas kau mencari Pejabat Liang tempo hari. Tujuanmu sebenarnya adalah supaya bisa menemui Kaisar, bukan begitu?”
Ziwei kembali mengangguk. ”Ya. Tapi kemudian aku sadar dia tak bisa membantuku. Kalau saja aku seekor walet kecil, aku ingin melayang terbang ke dalam istana.”
Xiao Yanzi memutar otak. ”Kalau tidak bisa masuk, tunggulah saat Kaisar keluar istana.”
”Kaisar keluar istana? Apakah mungkin?”
”Tentu saja! Beliau terkenal suka bepergian keluar istana.”
Tiba-tiba secercah harapan kembali menyelimuti Ziwei.
***
Ketika ibunya masih hidup, Ziwei sering mendengarnya menyanyikan lagu ini,”Gunung yang nun jauh di sana. Sungai yang juga jauh disana.
Gunung dan sungai yang jauh, jalan yang terbentang pun begitu jauh.
Semalam aku berharap. Pagi ini kembali berharap.
Berharap dan berharap, semangatku pun semakin pudar karenanya...”
Lagu inilah yang yang terus diingat Ziwei ketika memanjat tebing di arena perburuan timur Beijing bersama Xiao Yanzi dan Jinshuo hari itu. Di pundaknya tersandang buntalan berisi kipas dan lukisan-yang dulu pernah membelenggu ibunya. Kini, dia sudah semakin dekat dengan pencipta belenggu itu. Ayahnya.
Xiao Yanzi mendaki dengan gesit. Tapi bagi Ziwei dan Jinshuo, mereka baru pertama kali memanjat gunung. Peluh membasahi wajah keduanya. Muka dan tangan tergores ranting pohon di sana-sini.
Jinshuo terbelalak saat mendengar Xiao Yanzi berkata kalau setelah memanjat sisi yang ini, mereka masih harus menuruni sisi sebelahnya.
”Oh Tuhan! Aku pasti tidak sanggup! Kakiku rasanya sudah hampir patah.”
Muka Ziwei sudah pucat. ”Aku juga... Ini benar-benar di luar kemampuanku. Aku tidak bisa mendaki, sekaligus menuruni tebing ini...”
”Omong kosong! Pokoknya harus bisa!” paksa Xiao Yanzi. ”Dengar, di balik tebing ini ada ayahmu! Kau dan ayahmu hanya terpisah oleh tebing ini!”
Ziwei tak berdaya. Tiba-tiba dia kehilangan pijakan hingga tergelincir dan meluncur ke bawah. Xiao Yanzi berhasil meraihnya. Keduanya bergulingan jatuh ke bawah. Celana Ziwei sobek. Lututnya berdarah.
Akhirnya Ziwei memutuskan, ”Xiao Yanzi, kalau kau menyeberangi tebing ini bersamaku dan Jinshuo, sampai besok pagi pun, tak akan selesai. Kau lebih gesit. Lebih baik kau saja yang menemui Kaisar dan menyampaikan barang bukti ini.”
Xiao Yanzi berpikir sebentar lalu memandang gunung itu. ”Benar katamu. Jika terus ditunda, hari sudah akan keburu malam. Baiklah, aku akan menjadi pengantar pesanmu. Masalah ini akan kuanggap seperti masalahku sendiri. Selama kedua benda ini masih ada, aku pasti masih hidup. Tapi jika keduanya hilang, biarlah aku lenyap bersamanya!”
Jinshuo juga terjatuh. Dihampirinya keduanya lalu bersujud pada Xiao Yanzi. ”Aku mewakili mendiang Nyonya mengucapkan terima kasih padamu.”
”Jangan begitu!”cegah Xiao Yanzi. ”Ziwei telah menjadi adikku. Masalahnya adalah masalahku juga. Kalian tak usah menunggu. Kembalilah ke rumah kumuh dan tunggu kabar dariku.”
Ziwei berpesan terakhir kalinya, ”Berhati-hatilah.”
Xiao Yanzi mengangguk. ”Kalian juga. Hati-hati.”
***
Tahun itu, Kaisar Qianlong berusia lima puluh tahun. Dia masih tegap, tampak awet muda dengan dahi lebar, mata yang dalam serta hidung mancung mencerminkan ketampanan.Qianlong (25 September 1711 – 7 Februari1799) adalah satu dari dua kaisar teragung pada masa Dinasti Qing. Kaisar satunya ialah Kangxi, kakek Qianlong yang memerintah antara tahun 1661-1722. Masa pemerintahan Kangxi dan Qianlong terkenal sebagai tahun-tahun damai di China. Sehingga era ini disebut juga ’Keselarasan Kang-Qian’.
Sebagai Kaisar, Qianlong berhasil membawa Dinasti Qing ke puncak kejayaannya. Wilayah kekuasaannya hampir sama dengan luas negara China saat ini. Negara-negara tetangga tunduk pada kekuasaannya dan wajib menyerahkan upeti bagi kerajaan. Negara itu meliputi: Korea, Mongolia, Tibet, Turkmenistan, Myanmar dan Vietnam.
Qianlong terkenal sebagai Kaisar yang cerdas. Dia terpelajar di samping mahir menunggang kuda dan memakai senjata seperti leluhurnya orang-orang Manchuria. Dia Kaisar yang penuh percaya diri tapi tidal zalim.
Hari dimana Xiao Yanzi memanjat tebing bersama Ziwei dan Jinshuo, Qianlong tengah berburu di baliknya. Dia didampingi sejumlah prajurit beserta panglimanya: E Min, Quanheng dan Fulun. Beberapa bangsawan muda juga ikut. Tiga di antaranya merupakan pemuda kesayangan Qianlong: Yongqi, Fu Erkang dan Fu Ertai.
Yongqi putra kelima Qianlong. Tahun ini usianya sembilan belas. Dia mahir sastra dan ilmu perang. Juga pandai menunggang kuda dan memanah. Ibunya Selir Yu, telah wafat ketika dia Yongqi masih kecil.
Erkang dan Ertai adalah putra-putra Fulun. Erkang lebih tua sedikit dari Yongqi. Ilmu silatnya tinggi sehingga menjadi salah satu pengawal elit Kaisar. Adiknya, Ertai sebaya dengan Pangeran Kelima. Ertai selalu bersama Yongqi dan menjadi sahabat karibnya. Bibi kedua Fu bersaudara, sepupu istrinya Fulun, wanita yang dikasihi Kaisar: Selir Ling.
Qianlong memberi semangat kepada para bawahannya – terutama yang muda-muda: ”Ayo! Perlihatkan kemampuan kalian! Ingat bahwa Dinasti Qing kita menaklukkan dunia dari atas punggung kuda! Keluarkan seluruh keahlian memanah dan berkuda kalian!”
”Baiklah Yang Mulia! Hamba tak akan sungkan menunjukkan keahlian hamba!” sahut Erkang.
”Siapa yang menyuruhmu untuk sungkan?” Qianlong menunjuk. ”Di depan ada rusa.”
”Rusa itu milikku!” Erkang memacu kudanya.
”Kakak! Beri aku kesempatan!” Ertai ikut memacu kudanya.
”Hari ini kita lihat, siapa yang akan mendapat rusa itu!” Yongqi bersemangat dan penuh percaya diri. Menunjukkan kharisma seorang pangeran.
Ketiganya mengejar rusa itu yang melesat masuk ke dalam hutan. Erkang paling depan, bersiap membidik.
”Maaf Pangeran Kelima, rusa itu akhirnya menjadi milikku!”
Ertai tiba-tiba berteriak, ”Kakak! Di sana ada beruang!”
“Mana?” panah Erkang langsung melesat ke arah yang ditunjuk Ertai.
”Ha Ha!” Yongqi tertawa keras. ”Terima kasih Ertai! Hari ini rusa itu milikku!”
Erkang melempar pandangan penuh pengertian pada Ertai. Mana ada beruang? Hari ini dia kalah cekatan dari Yongqi.
Yongqi menarik busur dan panahnya terlepas. Rusa yang merasa terancam itu meloncat, digantikan sesosok wanita yang membelalak melihat sebilah panah meluncur ke arahnya.
”Aaah!”
Wanita itu tidak sempat menghindar. Dia menjerit begitu mata panah yang tajam menancap dadanya.
Ketiga pemuda terkejut. Mereka memacu kuda ke arah wanita yang kini terkapar.
Yongqi segera turun dari kuda dan mengangkat tubuh wanita itu. Wanita itu melihat Yongqi dan berkata, ”Kaisar... Aku ingin bertemu Kaisar!”
***
Ketika dibawa ke hadapan Qianlong, kesadaran Xiao Yanzi mulai hilang.Panah Yongqi sepertinya mengenai pembuluh nadi besarnya, menyebabkan darah tidak berhenti keluar.
Qianlong terkejut melihat Xiao Yanzi. “Gadis ini seorang penyusup? Bagaimana bisa dia masuk kemari sementara tempat ini telah dijaga ketat?”
Xiao Yanzi bergumam lirih, “Kaisar… Aku ingin bertemu Kaisar…”
“Dari tadi dia bilang mau bertemu Kaisar. Jelas tujuannya kemari adalah bertemu Baginda,” kata Erkang.
Para panglima Qianlong merasa curiga. Mereka mengelilingi Xiao Yanzi. E Min bahkan telah mencabut pedangnya bersiap membunuhnya.
“Panglima E Min! Tahan dulu!” seru Qianlong.
Xiao Yanzi kaget dan ketakutan. Dia mulai sekarat. Pandangan di sekelilingnya mengabur. Sosok-sosok di hadapannya tinggal berupa bayangan hitam saja. Susah payah dia mencari-cari sosok Kaisar. Lalu, dilihatnya sesosok tegap yang duduk di atas kuda dan bersuara mencegah pembunuhannya. Kemungkinan, sosok itulah Kaisar.
Xiao Yanzi mengumpulkan sisa kekuatannya dan berteriak, “Kaisar! Apakah Yang Mulia masih ingat peristiwa sembilan belas tahun lalu di tepi Dananu Taming? Bersama wanita bernama Xia Yuhe?!”
Teriakan Xiao Yanzi menyentak Qianlong. “Apa katamu?” Coba katakan sekali lagi!”
Tubuh Xiao Yanzi mengejang. Dia pingsan.
”Hati-hati, mungkin dia Cuma pura-pura,” Fulun mengingatkan.
Yongqi mengambil buntalan Xiao Yanzi. ”Dari tadi dia membawa-bawa ini. Apakah dia menyembunyikan senjata di dalamnya?” Yongqi membuka buntalan dan melihat, ”Sebuah kipas dan segulung lukisan!”
”Apa? Cepat serahkan padaku!” Qianlong mulai merasa jantungnya berdebar-debar.
Yongqi menyerahkan kedua benda itu pada Qianlong. Qianlong membuka kipas lipat dan sesaat ingatannya seolah terseret ke masa silam.
”Yongqi, angkat gadis itu dan perlihatkan padaku!”
Yongqi mengangkat tubuh Xiao Yanzi sehingga Qianlong bisa melihat dengan jelas wajahnya. Mendadak, tubuh Qianlong gemetar dan hatinya nyeri. Dia pun berseru, ”Tabib Li!”
Tabib Li yang mengikuti rombongan berburu segera menghadap. Qianlong mengeluarkan perintah.
”Segera periksa gadis ini baik-baik! Aku menginginkannya dalam keadaan hidup! Jika kau tak dapat menyembuhkannya, kepalamu akan menjadi taruhannya!”
Bersambung Sinopsis Putri Huan Zhu Part 2>>
2 Komentar:
Howdy! I just wish to give a huge thumbs up for the nice information you will have here
on this post. I will probably be coming again to your blog for extra
soon.
My web site; seoul south korea weather today
Hiya! I simply would like to give an enormous thumbs up for the good
information you might have right here on this post. I might
be coming again to your blog for more soon.
my web blog 排名優化
Posting Komentar