dwicri-j. Diberdayakan oleh Blogger.

Cinderella's Sister - Episode 9

 
Eun Jo menaiki tangga restoran.

Di saat yang sama, Jang sedang menuruni tangga. Begitu melihat Eun Jo, ia langsung lari dan bersembunyi.

Eun Jo membuka pintu restoran. Ia memeriksa orang satu per satu, namun tidak bisa menemukan orang yang dicarinya. Kang Sook menarik napas lega.

 
Jang duduk di tangga atas dan menghitung jumlah nol (0) pada cek yang diberikan Kang Sook.

"Kau benar-benar wanita yang cerdik." gumamnya kesal.

 
Kang Sook mengajak Eun Jo keluar. Ketika membuka pintu, mereka berpapasan dengan Jang. Mereka bertiga sama-sama terkejut.

 
Dae Sung menelepon Hyo Seon dan menyuruhnya mencari Eun Jo. Hyo Seon mencari di perusahaan, namun EUn Jo tidak ada di sana.

Ki Hoon mencari di rumah dan kamar Eun Jo, namun Eun Jo juga tidak ada disana. Ia terpana melihat kamar Eun Jo. Tidak ada bunga, tidak ada boneka, tidak ada lipstik. Apa benar ini kamar seorang gadis?

Ki Hoon juga mencari Jung Woo di kamarnya, tapi Jung Woo tidak ada.

"Kenapa dia?" gumam Ki Hoon dalam hati. "Apakah ia sedang membuat seorang gadis nakal tertawa lagi di suatu tempat?"

Ki Hoon duduk di ranjang. Disana, ia membaca tulisan di tongkat baseball Jung Woo. 'Song Eun Jo adalah kekasih Han Jung Wo selamanya'.

Tidak lama kemudian Hyo Seon masuk. Ia memandang ke arah pandangan Ki Hoon dan membaca tulisan di tongkat baseball.

"Jadi, mereka sudah saling mengenal sejak Goo Sun Jo masih memiliki nama Song Eun Jo?" tanyanya.

Tanpa mengatakan sepatah katapun, Ki Hoon berjalan pergi.

 
Hyo Seon kembali ke kamarnya dan membuka kotak berisi peninggalan ibunya.

"Ibu..." gumamnya seraya melihat foto ibunya.

Di dalam kotak itu, ia juga menemukan surat yang dititipkan Ki Hoon padanya untuk Eun Jo sebelum pergi.


 
Kang Sook menjelaskan pada Eun Jo bahwa hubungannya dan Jang sudah berakhir.

"Sampai saat ini, kalian berdua masih bertemu?" tanya Eun Jo.

"Ya." jawab Kang Sook.

"Apa maksudmu?" tanya Jang. "Kita tidak saling bertemu selama 3 tahun."

"Tutup mulutmu!" bentak Kang Sook.

"Bagaimana aku bisa percaya padamu?!" tanya Eun Jo. "Bisakah kau mempercayai dirimu sendiri?! Kau menutupi kebohongan dengan kebohongan lain! Apa kau tidak punya sedikitpun kejujuran?! Kau pikir, tidak ada orang yang tahu?! Kau pikir, kau bisa membuat seorang pria baik menjadi bodoh, bukan?!"

"Aku menggunakan uang untuk melenyapkan dia." kata Kang Sook.

Jang mengeluarkan amplop cek dari Kang Sook, kemudian mengembalikannya. "Aku akan pergi." katanya. 
 
"Aku akan pergi tanpa uangmu. Aku memang tidak tahu apa-apa. Tapi aku tahu hal yang memalukan." Jang berjalan pergi meninggalkan mereka.

 
Setiap hari, Kang Sook membawakan makanan ke kantor Dae Sung. Begitu selesai, Kang Sook berjalan keluar.

Eun Jo menarik ibunya. "Bagai Ayah Hyo Seon pulang bersamamu." katanya. "Ada masalah di pabrik. Aku tidak ingin ia ada di sini. Ia juga tidak boleh menerima telepon. Ayah Hyo Seon tidak boleh mendapat kabar yang mengejutkan."

"Ada masalah apa?"

"Bawa ia pulang dan berliburlah beberapa hari." kata Eun Jo. "Kurasa ini jalan terbaik. Tolong lakukan, Ibu."

 
Eun Jo menelepon penyuply beras.

"Apa katanya?" tanya Hyo Seon. Eun Jo tidak menjawab. "Tidak bisakah kita mendapatkan beras dari tempat lain?"

"Bukankah kau membaca kontrak?" tanya Eun Jo. "Kita hanya boleh menggunakan beras organik dari propinsi Kyung Ki."

 
Eun Jo, Ki Hoon dan Hyo Seon datang langsung ke penyuply beras.

"Kenapa tiba-tiba kau melanggar kontrak?!" seru Eun Jo marah.

"Apa maksudmu?" tanya penyuply. "Apakah kita membuat kontrak? Jika benar, tunjukkan kertas kontraknya padaku!"

Eun Jo terdiam.

"Kami memang menyediakan beras untuk kalian sehingga kalian bisa membuat anggur dan mendapatkan uang." kata pria itu. "Tapi kalian, anak-anak muda, tidak pernah mengucapkan terima kasih!"

"Kemana kau mengirim beras itu?" tanya Ki Hoon.

"Aku tidak tahu." jawab pria itu, acuh. "Banyak pekerjaan yang harus kuselesaikan, jadi kita akhiri saja pembicaraan ini."

Pria itu berjalan pergi. Eun Jo dan Hyo Seon mencoba menghentikannya.

"Tunggu, Paman!" seru Hyo Seon. "Apa kau tidak ingat aku? Waktu itu aku masih kecil, tapi aku sering ikut ayahku kemari dan bermain."

Pria itu mencoba mengingat.

"Kau tidak ingat?" tanya Hyo Seon. "Aku Hyo Seon! Kau bilang aku cantik dan membelikan aku permen!"

"Ah, anak itu!" seru penyuply, teringat.

"Paman, minumlah sebentar bersama kami." pinta Hyo Seon. "Aku janji tidak akan lama."

 
Penyuply beras setuju untuk minum bersama Hyo Seon dan yang lainnya. Setelah beberapa lama berbincang ringan dan minum, Hyo Seon memulai strateginya.

"Paman, beras yang biasa kau supply untuk kami, siapa yang membelinya?" tanya Hyo Seon santai, seperti mengobrol biasa.

 
Hari sudah malam. Dalam perjalanan pulang, Hyo Seon mabuk. Ki Hoon menyarankan pada Eun Jo agar mereka bertemu dengan si pembeli beras besok pagi, namun Eun Jo bersikeras ingin menemui orang itu malam itu juga.

"Ini sudah malam." bantah Ki Hoon.

"Kita pergi sekarang." ujar Eun Jo, bersikeras. "Kita harus cepat kesana dan kembali."

"Jika kita pergi kesana dan bertemu seseorang, apakah kau akan memperlakukan dia seperti kau memperlakukan Paman barusan?" tanya Ki Hoon. "Di mata orang tua, sikapmu itu sangat kasar. Besok, aku dan Hyo Seon yang akan pergi."

"Aku yang akan pergi." bantah Eun Jo.

"Kau tidak percaya pada Hyo Seon?" tanya Ki Hoon. "Ia lebih mampu dari pada kau. Kau tidak bisa membuka hati seseorang. Kau tidak akan mendapatkan apa-apa dengan sikap itu."

"Begitu?" tanya Eun Jo. "Hentikan mobil."

Ki Hoon menuruti Eun Jo, menurunkannya di pinggir jalan, kemudian meninggalkannya.

 
Eun Jo berjalan pulang. Sesampainya di rumah, Ki Hoon menunggunya di depan gerbang.

"Ada satu hal yang ingin kutanyakan padamu." kata Ki Hoon. "Saat kepergianku, apakah kau datang ke stasiun kereta? Tidakkah kau mendapatkan surat dariku?"

"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan." kata Eun Jo.

"Aku menulis surat dan memintamu datang ke stasiun kereta." kata Ki Hoon. "Aku menitipkannya pada Hyo Seon. Apakah Hyo Seon tidak menyerahkannya padamu?"

Eun Jo diam. "Aku menerimanya." katanya berbohong. "Aku bahkan tidak ingat apakah aku merobek atau membakarnya."

"Setelah kau membaca surat itu, kau tetap tidak datang?" tanya Ki Hoon.

"Kau memintaku mengingat hal yang sudah terjadi bertahun-tahun yang lalu?" tanya Eun Jo marah. "Sudah kubilang itu tidak penting lagi! Itu tidak penting lagi!"

 
Diam-diam, Eun Jo menangis seorang diri di kamarnya.

Kang Sook dan Dae Sung pergi berlibur dan berjalan-jalan berdua.

Kang Sook melarang Dae Sung menelepon dan menghubungi pabrik.

 
Eun Jo duduk diam, gelisah menunggu telepon.

Tidak lama kemudian, Hyo Seon meneleponnya.

"Mereka bilang, jika kita ingin beras itu, kita harus membayar mereka tiga kali lipat." kata Hyo Seon. "Aku akan menelepon ayah."

"Jangan!" larang Eun Jo. "Jangan katakan apapun padanya!"

Eun Jo bingung harus melakukan apa. Jung Woo melihatnya dari jauh, kemudian membawakan teh untuk menenangkannya.

"Kau menggangguku. Pergilah." kata Eun Jo.

"Aku akan pergi setelah melihatmu meminum teh itu." kata Jung Woo keras kepala. "Apa susahnya minum?"

Agar Jung Woo tidak berisik terus, Eun Jo meminum teh itu. Jung Woo tersenyum senang.

Eun Jo diam sejenak, kemudian beranjak pergi.

 
Eun Jo datang ke bank, memohon peminjaman uang untuk mengekspor anggur.

"Kami akan memberi kabar pada kalian besok." kata pengurus bank.

Eun Jo dan Jung Woo masuk ke mobil.

Jung Woo membantu Eun Jo memasang sabuk pengaman. "Apa kau butuh uang?" tanyanya. "Gunakan uang yang kuberikan padamu. Aku sudah bilang, aku akan menjagamu."

Eun Jo tersenyum.

 
Eun Jo memutuskan untuk membeli beras dengan harga tiga kali lipat. Hyo Seon tidak setuju. "Bagaimana jika kita tidak bisa membayar hutang itu?!" serunya.

"Jika kita menjual anggur itu, kita bisa tetap berdiri dan membayar hutang!" seru Eun Jo. "Saat ini, jika kita tidak memenuhi janji kita dan berproduksi, nama ayahmu akan hancur!"

"Berhentilah berpura-pura peduli pada ayahku!" teriak Hyo Seon. "Bagaimana bisa kau lebih peduli padanya ketimbang aku?! Kau ingin mengincar sesuatu, bukan?"

Eun Jo diam.

"Tidak? Jika tidak, katakan! Kenapa kau diam?" tanya Hyo Seon.

"Bagaimana kau bisa mengetahui pikiranku, padahal aku sendiri tidak tahu?" tanya Eun Jo. "Apa yang kau takutkan sehingga kau memaksaku memberitahumu apa yang kupikirkan? Apa kau takut aku mengambil semua milikmu? Apa kau takut aku menjadi orang yang lebih penting darimu?"

"Kau pikir kau bisa mengambil semua dariku?!" teriak Hyo Seon.

"Biar kukatakan satu hal yang ada di pikiranku." kata Eun Jo. "Kau sangat kekanak-kanakan dan menakutkan. Satu-satunya hal yang membuatku bersabar padamu adalah karena kau putrinya! Kau sangat kekanak-kanakan sehingga menyebabkan sesuatu yang menakutkan!"

"Apa maksudnya itu?"

"Kau tidak tahu?" tanya Eun Jo, tajam. "Suratnya... kenapa kau tidak memberikan surat itu padaku? Aku merelakannya bukan karena kau, tapi karena kau adalah putri ayahmu."

"Karena aku tidak memberikan surat itu, maka kau menyebutku kekanak-kanakan?" tanya Hyo Seon. "Lalu, apa hasil yang menakutkan itu? Katakan, sebelum aku membunuhmu."

"Sejak lahir... untuk pertama kalinya.." Eun Jo meneteskan air mata. "Aku merelakannya karena semua itu tidak akan mengubah apapun. Tapi sebaiknya kau berhati-hati karena sepertinya orang itu belum bisa melupakan aku."

 
Alih-alih menjalankan rencananya, Ki Hoon menemui ayahnya. Ia meminta pinjaman uang untuk produksi anggur dan menemukan siapa yang ada dibalik pembelian supply beras. Berkat usahanya itu, akhirnya Perusahaan Anggur Dae Sung bisa melanjutkan produksi.

 
Karena keberhasilan produksi, Dae Sung mengajak Eun Jo, Ki Hoon dan Hyo Seon makan bersama di restoran. Mulanya Eun Jo menolak dan ingin kembali ke laboratorium, namun Hyo Seon memaksanya.

"Bisakah kau menuangkan menuangkan minum untukku?" pinta Dae Sung pada Eun Jo. Ketika Dae Sung meminta dituangkan minuman oleh Ki Hoon, Eun Jo melarang.

"Jangan minum lagi." larang Eun Jo.

Eun Jo menuangkan minuman untuk Hyo Seon dan begitu pula sebaliknya.

Hyo Seon kemudian meminta Ki Hoon mengantar Dae Sung pulang karena ia dan Eun Jo ingin minum berdua.

 
"Tidak bisakah kau meninggalkan rumah?" tanya Hyo Seon dalam keadaan mabuk. "Pergilah."

"Kenapa?" tanya Eun Jo.

"Aku benar-benar berpikir ingin membunuhmu." jawab Hyo Seon. "Aku sangat tidak menyukaimu."

"Kau bilang, kau sangat menyukaiku." kata Eun Jo.

"Aku tidak pernah bilang begitu." Hyo Seon memohon-mohon agar Eun Jo pergi. Ia akan memberikan semua tabungannya untuk Eun Jo. "Melihatmu tiap hari sangat mengerikan."

Eun Jo setuju. Melihat Hyo Seon juga sangat mengerikan baginya. Tapi ia berkata bahwa ia tidak bisa pergi. "Kau bilang, kau ingin melihat siapa yang menang. Kau sendiri yang bilang. Apa kau tidak ingin bertanding lagi? Jika kau terus begini, aku benar-benar akan mengambil semuanya darimu. Perusahaan, ayahmu dan orang yang kau suka. Aku akan mengambil mereka semua."

 
Dalam keadaan mabuk, Eun Jo dan Hyo Seon datang ke lab. Saking mabuknya, Hyo Seon pingsan di lab itu. Eun Jo berusaha menarik Hyo Seon, tapi ia malah ikut pingsan.

Sampai malam, Eun Jo dan Hyo Seon tidak juga pulang. Dae Sung cemas dan menyuruh semua orang mencari mereka.

Belum sempat orang-orang pergi, Dae Sung mendapat telepon dari orang Jepang. Orang Jepang itu mengatakan bahwa kapal sudah sampai di Jepang, tapi kontainer berisi anggur Dae Sung tidak ada dalam kapal tersebut. Anggur Dae Sung ditahan.

"Aku akan menghubungi kantor mereka." kata Ki Hoon, beranjak pergi.

"Ki Hoon." panggil Dae Sung. "Mereka bilang, perusahaan itu tidak pernah ada."

"Apa?!" seru Ki Hoon.

Dae Sung hampir terjatuh. Kang Sook menahannya.

 
Ki Hoon menelepon ayahnya.

"Itu perusahaan palsu!" seru Ki Hoon di telepon. "Apa ini semua perbuatanmu, Ayah?!"

"Itu perbuatan Ki Jung." jawab Presiden Hong. "Aku baru saja mengetahuinya."

Ki Hoon menutup telepon, kemudian menekan tombol telepon lagi untuk menghubungi Ki Jung.

"Kau yang melakukannya?" tanya Ki Hoon.

"Aku tidak mengerti apa yang kau bicarakan." ujar Ki Jung.

"Apa kau begitu menginginkan Perusahaan Anggur Dae Sung?!" tanya Ki Hoon. "Apa kau selalu seperti ini? 
 
Aku tidak percaya sikapmu sangat rendah. Menghancurkan hidup orang lain!"

 
Ki Hoon menurunkan telepon dan menoleh ke belakang. Dae Sung sudah berdiri di sana.

"Keluargamu yang melakukan semua ini?" tanyanya. "Kau menghubungi Ki Jung?"

"Paman..."

Dae Sung meraih teleponnya dan mendengarkan. "Kau menggunakan uang ayahku untuk membeli beras itu." ujar Ki Jung dalam telepon. "Jadi kau dan ayah terlibat dalam Perusahaan Dae Sung."

Setelah mendengar itu, Dae Sung menurunkan telepon. "Bagaimana bisa... bagaimana bisa kau melakukan itu padaku..." Dae Sung mendadak terjatuh.

Jung Woo mencari Eun Jo dan Hyo Seon di laboratorium. Mereka langsung berlari panik menuju rumah sakit setelah mendengar kabar yang disampaikan Jung Woo.

Di lain pihak, Kang Sook juga berlari ke rumah sakit.

 
Kang Sook tiba di rumah sakit dan menemukan Dae Sung terbaring tak bergerak di ranjang UGD. Ki Hoon berdiri diam, bersandar pada dinding.

"Dia tewas sebelum tiba disini." kata Dokter.

"Bisa-bisanya kau bicara dengan begitu mudah di depanku!" seru Kang Sook shock.

Tidak lama kemudian, Eun Jo, Hyo Seon dan Jung Woo tiba.

Dengan perlahan-lahan dan takut-takut, Hyo Seon berjalan mendekati ayahnya. "Ibu... ada apa dengan ayah?" tanyanya.

"Hyo Seon, ganggu ayahmu." kata Kang Sook lemah. "Ia tidak boleh tidur."

Hyo Seon berlutut di samping ayahnya. "Ayah..." panggilnya, membangunkan Dae Sung. "Hyo Seon akan mengganggumu. Kau harus bangun."

Dae Sung tidak bergerak.

Kang Sook oleng. Jung Woo menahannya agar tidak jatuh.

"Ayah..." panggil Hyo Seon.

Kenangan bersama Dae Sung tiba-tiba muncul dalam ingatan Eun Jo. "Bisakah kau memanggilku ayah untuk sekali ini?" tanya Dae Sung.

Hyo Seon menangis. "Ayah! Kau tidak bisa melakukan ini padaku! Kau tidak bisa!"

Eun Jo berdiri diam, kelihatan sangat terpukul. Ia berbalik dan keluar dari ruang UGD.

Eun Jo duduk ditangga darurat dan menangis.
 

0 Komentar:

Posting Komentar